Peran Guru IPS sebagai Pendidik di Era Globalisasi
Pendidikan
adalah salah satu jalan menuju kemajuan suatu bangsa. Semakin berkembangnya
zaman menuntut kemajuan di bidang pendidikan pula. Pengoptimalisasian tenaga
pendidik juga menjadi faktor penting untuk mewujudkan pendidikan yang
maju.
Tuntutan
zaman yang semakin maju khususnya di era globalisasi ini mendorong bidang
pendidikan juga untuk lebih maju. Guru adalah kunci dari transformasi
pendidikan di era ini. Khususnya adalah para calon pendidik masa depan
calon-calon guru akan menghadapi tantangan yang besar dalam dunia pendidikan di
era yang semakin maju ini.
Revolusi
industri menjadikan adanya sebuah jaringan yang menghubungkan komunikasi antar
manusia menggunakan alat, seperti teknologi IoT (internet of things),
robot, kecerdasan buatan (artificial intelegence), teknologi
kognitif (virtual reality) dan lainnya (Qusthalani, 2019,
hal.11).
Pada
saat ini ilmu pengetahuan sangat mudah sekali didapatkan. Dengan adanya
teknologi yang berkembang saat ini, membuat anak merasa diuntungkan, hal ini
mempermudah anak-anak dalam mencari materi pembelajaran penunjang di sekolah
maupun informasi untuk mempermudah kegiatan sehari-hari.
Terlebih
anak-anak muda generasi ini yang terlahir pada era perkembangan teknologi,
tentu saja internet dan dunia maya bukan menjadi hal yang asing lagi di dalam
hidup mereka. Akan tetapi, secara sadar ataupun tidak, sifat kebersamaan atau
gotong royong, sikap saling menghargai, sopan santun yang melekat pada
identitas bangsa telah pudar bahkan mungkin akan hilang begitu saja.
Karakter
bangsa yang seringkali digunakan anak-anak kini telah tergantikan dengan dunia
game dan tontonan visualisasi yang didalamnya terdapat tontonan berbau
kekerasan maupun pornografi. Anak-anak bisa dengan mudah mengakses
menggunakan smartphone yang adalah sebagai salah satu dari
perkembangan teknologi pada era globalisasi.
Perkembangan
teknologi khususnya dalam bidang internet tentu saja memiliki dampak
positifnya. Akan tetapi, kita tidak bisa memungkiri bahwa dilain sisi juga
menimbulkan dampak negatif, seperti kejahatan yang dilakukan dalam dunia
maya.
Dilansir
dari detik.com (3 Juni 2016), Awi Setiyono (Kabid Humas Polda Metro Jaya
Kombes) menjelaskan bahwa sudah terjadi 6 kasus kejahatan melalui internet yang
melibatkan anak-anak baik sebagai korban maupun pelaku dalam hal ini. Keenam
kasus ini adalah perkara hacking, pornografi, penipuan online,
protistusi online, penghasutan via facebook, dan pengancaman
bom (Amelia, 2016).
Dilansir
dari kompas.com (17 September 2018), Drajat Martianto, wakil Rektor IPB
mengatakan bahwa informasi begitu mudah untuk diakses, tak hanya orangtua atau
orang dewasa, anak-anak sekalipun bisa dengan mudah mengakses informasi yang
mereka inginkan melalui teknologi, baik komputer maupun smartphone (Harususilo,
2018). Hal ini dapat berdampak positif maupun negatif, dan hal ini menjadi
tantangan untuk orangtua dalam mendidik anak.
Hal
ini tentu saja menjadi tanggungjawab orangtua, karena yang utama bagi seorang
anak bukanlah kecerdasan yang dimiliki tetapi anak yang berkarakter baik lebih
penting dan pendidikan karakter anak yang pertama kali didapatkan adalah di
dalam sebuah keluarga.
Tetapi,
peranan seorang guru juga menjadi penunjang perkembangan karakter seorang anak.
Kecerdasan dan berkarakter merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Memang
benar jika teknologi digunakan sebagai penunjang anak di dalam pembelajaran,
akan tetapi pendidikan karakter tidak akan pernah bisa diberikan melalui teknologi.
Inilah
sebabnya mengapa teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan posisi guru
sebagai seorang pendidik. Seorang anak bisa cerdas dalam pengetahuan melalui
teknologi tetapi seorang anak tidak bisa memiliki karakter yang baik melalui
teknologi.
Adanya
perkembangan teknologi di zaman ini, media dapat menjadi alat yang s ampuh di
tangan oknum-oknum untuk menanamkan atau sebaliknya, merusak nilai moral, untuk
mengontrol pola pikir seseorang oleh mereka yang berkuasa terhadap media
tersebut (Handitya, 2018, hal. 45).
Era Globalisasi disebut sebagai era disrupsi, yang mana berkembangnya
teknologi dan media menjadi sarana saling bersaing dan terkesan menjatuhkan.
Maka, hal yang perlu dipersiapkan bagi pendidikan adalah benteng pertahanan
untuk menghadapi era disrupsi ini, yaitu dengan pengoptimalisasian pendidikan
karakter.
Sejatinya
pendidikan tidak hanya berfokus pada kognitif saja namun pengembangan moral,
emosi dan spiritual juga perlu dikembangkan. Pendidikan karakter seharusnya menjadi
pendidikan yang holistis. Menurut Miller, dkk., (2005) dalam Widyastono (2012,
hal. 469) pendidikan holistis adalah pendidikan yang memberdayakan seluruh
potensi/kemampuan diri siswa secara harmonis, yang meliputi intelektual,
emosional, fisik, sosial, estetika dan spiritual.
Menurut
Chrisiana (2005, hal.84) pendidikan karakter mengajarkan siswa cara berpikir
dan perilaku yang membantu siswa agar dapat hidup dan bekerja bersama
sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantu mereka
untuk mengambil keputusan dengan bertangungjawab.
Pendidikan
karakter membutuhkan para pendidik yang memiliki hati yang terpanggil untuk
mentransformasi pendidikan di Indonesia. Namun, yang menjadi permasalahan
selanjutnya adalah kurangnya kualitas tenaga pendidik atau guru yang memiliki
kompetensi dalam pengembangan karakter siswa.
Kebanyakan
guru-guru hanya menekankan pada aspek kognitif, padahal perlu pendidikan
karakter yang holistis untuk mempersiapkan siswa menjadi pemimpin masa depan
bangsa. Worldview yang dimiliki guru harusnya memandang siswa
sebagai pribadi yang unik yang perlu diarahkan dalam masa pendidikannya di
tengah era disrupsi.
Jika
tidak dibimbing dan dibina dengan benar, siswa bisa saja mengikuti alur era
disrupsi dengan menjadi anak yang apatis, tidak memiliki kepedulian sosial,
kurangnya bersosialisasi dengan lingkungan, individualis dan kurang sopan
santun.
Sejatinya,
pendidikan berusaha secara bermakna dan berkesinambungan menghasilkan sumber
daya manusia (SDM) yang bermoral dalam semua konteks kehidupan pada suasana dan
kondisi apapun. (Sumatmadja, 2002 dalam Fonna, 2019, hal. 101).
Salah
satu cara penerapan pendidikan karakter dapat ditanamkan melalui pembelajaran
bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Seperti yang disampaikan dalam
(Setyowati, 2018) bahwa pendidikan IPS sangat cocok dengan pengembangan
karakter karena sebagaimana tujuan dari pendidikan IPS itu sendiri yaitu
mempersiapkan siswa menjadi bagian warga negara yang baik di masa yang
akan datang.
Ketika
seorang anak tersebut beranjak dewasa dan dapat disebut sebagai warga negara
tentunya ia telah menerapkan prinsip-prinsip kehidupan yang ideal terutama
dalam kinerjanya yang bertanggungjawab. Setiap anak dapat mencapai pengalaman
kehidupan yang berarti itu melalui pilar-pilar pendidikan karakter yang bisa
saja ditanamkan oleh seorang guru bidang studi IPS.
Menurut
Brown, Chamberland and Morris pilar- pilar pendidikan karakter yang dirasa
perlu untuk diajarkan adalah:
- trustworthiness (kepercayaan, kejujuran),
- recpect (hormat),
- responsibility (tanggung jawab),
- fairness (keadilan),
- caring (peduli) dan
- citizenship (kewarganegaraan) (Trisiana, Sugiaryo, & Rispantyo, 2019, hal. 90).
Pendidikan
karakter menjadi kunci utama dalam pembaruan pendidikan di Indonesia. Dalam
pendidikan karakter nilai-nilai kebenaran harus diajarkan pada siswa. Menurut
Guilford (1985) penerapan dari pendidikan nilai yang dikembangkan adalah:
- anak dididik dan dilatih dengan cara bekerja sambil belajar. Kecerdasan berpikir anak dikembangkan dengan seluas-luasnya;
- mengembangkan kepribadian anak dengan kepribadian nasional bangsa sehingga menjadi pribadi yang dinamis, percaya diri, berani, bertanggung jawab dan mandiri;
- belajar tidak hanya saat jam pelajaran saja, tetapi juga dalam setiap kesempatan di luar jam sekolah; dan
- contoh perbuatan baik dari guru harus diterapkan karena lebih berhasil dalam membina watak yang baik (Syamsuar & Reflianto, 2018, hal. 11).
Didalam
pengaplikasiannya guru juga mendorong siswa yang memiliki keterampilan lebih
dalam hal teknologi untuk membantu siswa lainnya, sehingga siswa memiliki
karakter yang peduli dengan sesama.
Disinilah
peran guru sebagai agen perubahan dalam mentransformasi pendidikan yang
membantu siswa memiliki pertumbuhan karakter yang tidak hanya berpusatkan diri
sendiri namun mau menolong satu-sama lain.
Calon
guru memiliki peran yang sangat besar di era mendatang nantinya. Calon guru
harus memiliki kompetensi yang baik dalam menerapkan pendidikan karakter ini.
Siswa adalah cerminan dari generasi pemimpin dimasa yang akan datang yang perlu
dipersiapkan sebaik mungkin untuk menghadapi tantangan zaman.
Penerapan
pendidikan karakter tentunya harus dibarengi dengan tenaga pendidik yang
mumpuni, dimana pada zaman sekarang ini tantangan adanya teknologi bisa saja
menjadi penghambat penanaman nilai-nilai pendidikan karakter.
Hal
ini karena semakin mudahnya mengkases media, informasi dan komunikasi yang
dapat dibuka oleh semua orang. Seperti dikatakan Muhadjir Effedy bahwa
"Tugas guru sebagai pendidik adalah menanamkan nilai-nilai dasar
pengembangan karakter peserta didik dalam kehidupannya. Termasuk dalam
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi secara bijak serta sebagai inspirator
bagi anak didiknya," (Sekretariat GTK, 2019).
Salah
satu bagian dari hal tersebut adalah peran dari seorang guru sebagai agen
perubahan. Semangat membawa perubahan bagi pendidikan harus selalu ditanamkan
dalam diri calon guru. Pergerakan nasional sebelum kemerdekaan dapat menjadi
contoh semangta membawa perubahan bagi bangsa kearah yang lebih baik. Guru
sebagai agen perubahan dalam pendidikan harus juga membawa pada pendidikan yang
semakin maju untuk menghasilkan generasi yang berkualitas di masa yang akan
datang.
Seorang
guru diharapkan tidak hanya memulai tugasnya untuk mendidik secara karakter
sejak dia sudah resmi menyandang gelar tersebut. Akan tetapi, permulaannya
harus berasal dari ketika ia memperoleh pengajaran di bangku perkuliahan.
Dalam
masa menjalankan pendidikannya seorang mahasiswa calon guru harus memperhatikan
beberapa hal di luar yang tidak dia dapatkan dari pembelajaran di dalam kelas.
Beberapa kegiatan positif yang bisa diikuti contohnya seperti organisasi,
komunitas, seminar, workshop, community service dan lain-lain.
Melalui
kegiatan positif tersebut secara tidak langsung terdapat pembentukan dalam
proses sosialisasi secara sempurna sehingga dalam hakikatnya seorang mahasiswa
calon guru tersebut tidak mengabaikan bahwa dirinya adalah makhluk yang
berelasi. Namun yang terpenting adalah calon guru harus memiliki karakter yang
holistis seperti beriman kepada Tuhan, sehingga karakter yang sejati timbul
karena nilai yang benar yang berasal dari Tuhan.
Karakter-karakter
yang terbentuk tertentunya harus berada pada tatanan di luar pandangan dunia
semata. Karakter yang sejati yang tidak berpusatkan pada manusia namun hanya
berpusatkan pada sang Pencipta.
Dalam
menghadapi era seperti ini, guru harus memperlengkapi diri terlebih dahulu
sebelum memasuki dunia pendidikan. Guru harus memiliki skill dalam menguasai
bidang teknologi informasi sebagai media pembelajaran.
Namun,
yang terpenting adalah guru memiliki karakter dan nilai yang baik. Guru
adalah role model atau contoh bagi siswa, guru yang
berkarakter baik akan menjadi contoh bagi siswa melakukan hal yang baik
juga.
Dimulai
dari guru, siswa akan melihat kebenaran yang sejati dan dapat menirunya. Guru
harus melihat bawa siswa adalah cerminan pemimpin masa depan bangsa, jangan
sampai dengan adanya teknologi yang semakin maju akan membunuh karakter
nasional bangsa.
Harapannya
dengan kompetensi guru yang juga holistis akan dapat membantu siswa bertumbuh
dalam pendidikan karakter yang holistis untuk menghadapi masa revolusi industri
4.0, sehingga dapat menghasilkan individu untuk menjadi pemimpin bangsa di masa
depan yang berkarakter mulia dan memiliki cinta tanah air.
Komentar
Posting Komentar